Secara sederhana pendidikan multikultural sanggup didefenisikan sebagai "pendidikan perihal keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus bisa membuat tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akhir kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
===========================================
===========================================
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan acara pendidikan untuk memasuki aneka macam pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu meliputi seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya ibarat gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis ibarat Amerika Serikat dan Kanada sudah berlangsung lama. Hal ini dilakukan dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.Di Indonesia wacana pendidikan multikultural muncul pasca berakhirnya Orde Baru sebagai salah satu upaya yang diyakini sanggup mengatasi keadaan negara menjadi kacau akhir aneka macam konflik antarsuku bangsa dan antar golongan.
Menurut James Banks (1994) terdapat lima dimensi yang saling berkaitan dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural, yakni
Pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis ibarat Amerika Serikat dan Kanada sudah berlangsung lama. Hal ini dilakukan dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.Di Indonesia wacana pendidikan multikultural muncul pasca berakhirnya Orde Baru sebagai salah satu upaya yang diyakini sanggup mengatasi keadaan negara menjadi kacau akhir aneka macam konflik antarsuku bangsa dan antar golongan.
Menurut James Banks (1994) terdapat lima dimensi yang saling berkaitan dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural, yakni
a) Content integration. Integrasi aneka macam budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
b) The Knowledge Construction Process. Proses mengarahkan siswa semoga bisa memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
c) An Equity Paedagogy. Suatu cara menyesuaikan metode pengajaran dengan cara mencar ilmu siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang bermacam-macam baik dari segi ras, budaya ataupun social
d) Prejudice Reduction. Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan memilih metode pengajaran sesuai dengan karakteristik tersebut
e) Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya membuat budaya akademik.
Plus Minius Penerapan Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran PKn Berdasarkan KTSP
Dalam beberapa Standar Kompetensi mata pelajaran PKn Sekolah Menengah Pertama gotong royong telah mengimplisitkan adanya pendidikan multikultural, namun sayangnya dalam pengembangan materi didik terutama dalam buku paket PKn kurang banyak tergali. Hal ini disebabkan para penulis buku paket cenderung membuatkan materi didik hanya berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Beberapa Standar Kompetensi mata pelajaran PKn Sekolah Menengah Pertama yang mestinya menerapkan pendidikan multikultural, anatara lain:
1. Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. SK ini telah dijambarkan dalam KD: Menerapkan norma-norma, kebiasaan, tabiat istiadat dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, sayang KD ini tidak dilengkapi dengan Menunjukkan pola sikap saling menghormati terhadap penerapan norma-norma, kebiasaan dan tabiat istiadat.
2. Mendeskripsikan Makna Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Pertama. Dalam penerapan Standar Kompetensi ini perlu digali peranan aneka macam suku bangsa, ras dan golongan bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sudah tentu penggalian tersebut akan berkaitan dengan pembelajaran Sejarah atau Pengetahuan Sosial. Namun perlu diingat bahwa fokus Pembelajaran Sejarah Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Pertama dari sudut PKn akan berbeda dibandingkan hanya dilihat sebagai Pengetahuan Sosial semata.
Kenyataan yang kita lihat bahwa pengembangan materi didik yang berkaitan SK tersebut banyak yang hanya menggali sejarah Perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan ditemukan terjadi tumpang tindih materi, lantaran materi Perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dibahas pula pada SD/KD yang berkaitan dengan materi Ideologi Pancasila dan Konstitusi.
3. Menampilkan Sikap Positif Terhadap Perlindungan dan Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM). SK salah satunya ini dijabarkan dalam KD: Menghargai upaya penegakan HAM. Jika kita dianalisis KD ini sudah niscaya mengajarakan sikap saling menghormati pelaksanaan hak asasi insan sebagai salah wujud pendidikan multikultural. Namun, berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang penulis alami terkadang KD yang justru merupakan inti pembelajaran ini terkadang terabaikan lantaran terlalu luasnya pembahasan terkait materi Kasus Pelanggaran HAM dan Instrumen HAM. Bayangkan untuk memperlihatkan pemahaman yang mendalam perihal pasal 28a-28j Undang-Undang Dasar 1945 kepada siswa Sekolah Menengah Pertama tidak cukup dalam satu kali pertemuan.
4. Menampilkan Perilaku Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat. Dalam SK, pendidikan multikultural yang mesti diajarkan yakni sikap menghargai pendapat orang lain. Namun, jikalau kita analisis KD penjabarannya (lihat KD 4.1: 4.2; dan 4.3 Standar Isi Mapel PKn berdasarkan Permendiknas 22 Th 2006) kecenderungan pembelajaran SK ini lebih mengarahkan kepada aktualisasi (praktek) cara mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Pengamatan penulis guru PKn lebih banyak mengajarakan cara mengemukakan pendapat dari pada cara menghargai pendapat orang lain.
5. Menampilkan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. SK ini sudah sanggup dipastikan menyirat makna pendidikan multikultural. Dalam konteks pengamalan Pancasila sila ketiga misalnya, guru PKn sudah seharusnya mengajarkan keanekaragaman SARA dalam satu kesatuan.
Berbagai SK dan KD mata pelajaran PKn jikalau dikemas dan dinalisis dengan baik gotong royong mengandung pendidikan multikultural. Oleh lantaran itu, suatu pernyataannya yang sangat tidak benar apabila ada orang menyampaikan bahwa kurikulum PKn ketika ini minim atau tidak mengandung pendidikan multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh kami sebagai guru PKn di lapangan yakni terlalu banyaknya materi yang lebih mengarah pada pengetahuan semata. Bahkan berdasarkan pandangan kami ada materi-materi atau materi didik yang kurang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa SMP. Terlalu luasnya materi bernuasa pengetahuan semata telah mempersempit ruang gerak guru PKn dalam pengembangan sikap dan nilai termasuk pengembangan pendidikan multikultural.
Daftar Pustaka
Banks, J (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA
IKA UIN Syarif Hidayatullah, Majalah: Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural , Vol. I No:2, 2003
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www. Edchange.org/multicultural
Permendiknas No 22 Tahun 2006 perihal Stnadar Isi
Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996