Halal Bihalal Merupakan Budaya Khas Muslim Indonesia

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud menyatakan, tradisi halal bihalal khas umat muslim Indonesia dan tidak ditemukan di dunia Islam lainnya. Karena itu, tradisi tersebut dibutuhkan sanggup ditegakkan secara berkesinambungan dan konsisten.
     
Harapan tersebut disampaikan Abd. Rahman Mas’ud pada khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, Jumat (17/07), di Masjid Agung At-Tin Jakarta. Sangat ironis bila halal bihalal yang unik, sekedar dilanggengkan sebagai seremoni tanpa arti, yang berjalan tiap tahun tanpa adanya kemajuan apapun.         

“Apa yang bisa kita dapatkan dari halal bi halal ini? Inilah pertanyaan penting yang harus kita kemukakan pada diri sendiri,” kata Mas’ud dalam khutbahnya. Hadir pada shalat Idul Fitri tersebut keluarga besar almarhum Soeharto dan Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung At-Tin, Muhammad Maftuh Basyuni.

Mas’ud mengatakan, apabila Idul Fitri dan halal bihalal kehilangan ruh dan substansinya, maka budaya formalistik, seremonial, ritualistik, agaknya belum bisa berjalan seirama dengan pedoman dasar agama dan etika sosial masyarakat Indonesia. Sebuah penelitian antropologi baru-baru ini, kata mantan Ketua ICMI Los Angeles AS (1992-1995) ini, menunjukan bahwa selama tiga dekade terakhir, pedoman hablum minannas (human relation) tidak populer. Sebaliknya, pedoman hablum minallah intinya merupakan wajah utama keberagaman muslim Indonesia yang hampir-hampir tidak bekerjasama dengan hablum minannas.

Kesemarakan beragama mengalahkan kekhusyukan beragama. Religiusitas masih sering larut dalam floating mass (massa mengambang) yang lebih mementingkan simbol daripada makna. Karena kondisi sosial ini pula aneka pendekatan yang ada selalu karikatif dan tidak mempunyai jangkauan strategis ke depan. “Kita patut risau karena sisi humanisme dalam agama masih jauh dari perhatian umat beragama di Indonesia. Inilah pekerjaan rumah kita bersama kaum muslimin di mana berada,” katanya mengingatkan.
Puasa  Ramadhan selalu diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Secara etimologi, Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, ‘id. Dalam Lisaanul Arab, Ibnu Mandzur menyatakan, kata ini diambil dari kata ‘ada, bermakna “kembali”. Ini menyampaikan bahwa Idul Fitri selalu berulang dan kembali tiba setiap tahun. Ada juga yang beropini diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan. Artinya bahwa kaum muslimin sudah biasa pada 1 Syawal selalu merayakannya.

Kata yang kedua ialah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah. Bila dihubungkan dengan puasa, maka ia mengandung makna `berbuka puasa’ (ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan insan yang memenuhi kehidupan jasmani dan rohani secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna ‘yang mula-mula diciptakan Allah SWT’. 

Adapun secara terminologi, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. “Satu hal yang patut kita syukuri ialah bahwa rahmat Allah lah yang menciptakan kita bisa menuntaskan kewajiban berpuasa sebulan penuh, sebuah ibadah yang bisa dipandang ringan sekaligus berat. Bagi muslim yang berpegang teguh pada pedoman Allah, akan menganggapnya sebagai pekerjaan ringan,” katanya.
Sebab, lanjut dia, puasa tidak hanya menjadi cuilan dari kehidupannya. Akan tetapi beliau yakin sebagaimana keterangan Allah bahwa puasa telah menjadi cuilan terpenting dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, puasa merupakan satu syarat bagi insan yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban 

Sumber: kemenag.go.id